Ia bukan hanya sekadar pelatih, Farioli adalah pemikir yang membawa pendekatan taktis berbeda dibandingkan dengan pendahulunya.
Ajax memang pernah menunjuk pelatih asing sebelumnya, tapi tidak sejak Morten Olsen asal Denmark pada 1997.
Ajax bahkan dianggap mengambil risiko dengan menunjuk pelatih Italia—sebuah keputusan yang secara budaya terasa bertolak belakang dengan filosofi sepak bola Belanda yang menekankan permainan menyerang dan ekspresif.
Baca Juga:Ajax 2018: Momen Singa Tua dan Segelintir Anak Muda yang Mempesona EropaNapoli Ditahan Imbang Udinese: Conte Tak Takut Disalip Inter Milan
Namun, keputusan berani itu membuahkan hasil. Tepat 827 hari sejak terakhir kali mereka berada di puncak, Ajax kembali menguasai Eredivisie.
Mereka melakukannya dengan gaya permainan yang bisa disebut sebagai “setengah revolusioner”.
Farioli menggabungkan filosofi sepak bola posisional khas Ajax dengan pendekatan pragmatis yang adaptif terhadap situasi pertandingan gaya Italia.
Di bawah sentuhan dingin Farioli, Ajax tidak lagi terobsesi dengan penguasaan bola tanpa arah yang jelas. Mereka lebih efisien, tahu kapan harus menekan, dan kapan harus bertahan.
Padahal skuat Ajax saat ini mungkin bukan yang paling berbakat dibanding era kejayaan sebelumnya.
Musim ini, mereka mengandalkan sejumlah pemain veteran seperti Remko Pasveer (41 tahun), Jordan Henderson yang menemukan kembali perannya, Davy Klaassen yang kembali untuk ketiga kalinya, hingga Wout Weghorst yang terkenal dengan keributannya dengan Messi.
Tambahan elemen Italia Daniele Rugani ke dalam daftar tersebut menjadikan Farioli berhasil meramu kombinasi pengalaman dan energi muda untuk menciptakan harmoni.
Baca Juga:Sergio Conceicão Harus Berhenti Bereksperimen dengan Formasi 4-4-2 yang Asal-AsalanDaftar Pemain Muda Incaran Beppe Marotta untuk Meremajakan Skuad Inter Milan
Statistik kemudian menunjukkan bahwa Ajax adalah tim yang mencetak gol terbanyak di 15 menit terakhir pertandingan musim ini—12 gol dari 21 laga.
Hal itu menunjukkan karakter tim yang tak mudah menyerah dan mampu mengelola energi secara efektif sepanjang pertandingan.
Berkat pendekatan ini, mereka meraih enam kemenangan beruntun yang membuat mereka bisa mengimbangi PSV, meski tim asuhan Peter Bosz masih unggul dalam selisih gol yang mengesankan (+45).
Ajax kini bukan sekadar bertahan di papan atas, tetapi juga mulai percaya bahwa mereka pantas berada di sana.
Kekacauan musim panas lalu perlahan menjadi kenangan yang memudar berkat “Revolusi setengah jalan” ala Farioli, yang awalnya dianggap sebagai eksperimen berisiko, kini menjadi fondasi baru untuk membangun masa depan.